Oleh: Jousairi Hasbullah*
Argumentasi terkait makna capaian Tingkat Kebahagiaan sepertinya perlu diperkaya ya. Tulisan berikut mudah-mudahan bisa membantu.
Hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan ( SPTK) BPS 2021, menuai diskusi hangat. Mengapa provinsi-provinsi di Jawa masyarakatnya kurang bahagia dibandingkan dengan masyarakat provinsi di luar Jawa, khususnya di Indonesia Timur. Kebahagiaan masyarakat Jakarta menurun. Jateng sedikit meningkat. Banten yang paling tidak bahagia.
Apakah ini terkait dengan keberhasilan pembangunan?. Jawabannya tidak mudah. Sangat kompleks. Saya coba sedikit menerangkan.
Ukuran tingkat kebahagiaan merupakan ukuran baru di dunia (beyond GDP dan beyond objective measurement lainnya). Gunanya untuk melihat apakah proses pembangunan membuat masyarakat bahagia atau tidak. Ukuran ini dipandang lebih pas menggambarkan apa yang real dirasakan oleh masyarakat ketimbang ukuran-ukuran objektif yang ditetapkan oleh para pakar. Ukuran kebahagiaan bersifat subjektif. Tergantung "rasa" dan penilaian oleh masyarakat (rely on people' own judgement)
Penetapan dimensi dan variabel survei Kebahagiaannya BPS, utamanya merujuk ke yang dilakukan oleh negara-negara Eropa (OECD). Mengapa ke OECD. Karena lebih komprehensif dan telah merangkum, memerah saripati, berbagai teori-teori besar tentang kebahagiaan. Kebahagiaan yang kita maksud di sini bukanlah kebahagiaan hedonis, melainkan kombinasi antara pleasant life, good life dan meaningful life plus.
Dalam survei BPS dan juga OECD " rasa" itu didekati oleh perasaan puas dengan apa yang dicapai dalam kehidupan secara personal dan secara sosial (satisfaction). " Rasa" cemas, gembira dan tekanan hidup (affects), dan "rasa" puas terkait kebermaknaan kehidupan seseorang (Eudaimonia. Dari Aristoteles, bahasa Yunani: Eu: good; Daimon: Ethics). Perlu dipahami bahwa beragam variabel pengukur dalam setiap dimensi, hasilnya akan sangat dipengaruhi oleh pengalaman hidup (life experiences), capaian keinginan (desire effects) dan faktor-faktor dadakan/ konjungtural.
Desire effects itu sangat sensitif di masyarakat urban yang terkonsentrasi di pulau Jawa. Desire Effects itu reflektif dengan aspirasi, ekspektasi dan pilihan-pilihan hidup yang lebih tinggi dan variatif. Apalagi ketika dihadapkan pada persoalan konjungtur seperti efect covid 19 dengan PHK masif, masyarakat kehilangan penghasilan, dan ancaman kematian yang melahirkan rasa cemas yang kuat. Faktor-faktor inilah yang menggerus kepuasan hidup, rasa cemas dan tertekan, dan relasi-relasi sosial yang terkait dengan makna hidup. Guncangannya akan sangat terasa di masyarakat industri urban yang episentrumnya ada di Jakarta, Banten, Bodebek-Karawang-Bandungnya Jabar dan pusat-pusat urban lainnya di pulau Jawa.
Dari perspektif ini, hasil survei BPS yg menunjukkan masyarakat pulau Jawa relatif "kalah" bahagia, dapat dikatakan koheren dengan situasi dan masuk akal.
Hanya itukah? Oh, tidak. Hasil Survei yang bersifat persepsional itu akan sangat dipengaruhi oleh situasi lingstra-ipoleksosbud di komunitas. Contoh kecil saja, anggota group-group WA yg nuansanya sangat oposan sudah pasti, suatu kelompok akan mempersepsikan kehidupannya mengikuti atmosfir yang dihirupnya dari komunitas itu. Cenderung tidak akan puas pada kehidupannya, pada lingkungan sosialnya, pada masyarakat sekitar dan sejenisnya.
Pada daerah yang polarisasi politiknya tinggi, masyarakat komunitas cenderung akan mempersepsikan komponen-komponen yang membentuk kebahagiaan dengan nilai tertentu (mirip yang disebut oleh Pierre Bordieu sebagai Effect Orthodoxy). Sepuluh daerah dg Indeks kebahagiaan tertinggi ( Malut, Kaltara, Sulut, Jambi dll dll) cenderung suasana politiknya tidak terpolarisasi secara tajam.
Berbeda dengan daerah dengan indeks terendah (misalnya, Sumbar, Aceh, DKI, Sumut, Jabar, Papua dan Banten) polarisasi politiknya sangat tinggi. Gontok-gontokan antara pro dan anti pemerintah baik di level pusat dan atau di level provinsi. Masyarakat seakan terbelah (fragmented)..Semakin tajam derajat keterbelahannya, semakin menggerus "rasa puas" rasa gembira, rasa cemas dan kebermaknaan diri (eudaimonia)
Satu hal yang semestinya dipedomani bahwa kebahagiaan memang belum tentu/bahkan tidak paralel dengan capaian kinerja pembangunan ekonomi dan lainnya di suatu daerah. Indeks kebahagiaan itu dibangun memang untuk membuktikan fenomena tersebut. Indeks unique yang menerangkan dunianya yang khas. Thats the answer.
Catatan: Selain 2 (dua) aspek besar yang diterangkan di atas, yang memahat terbentuknya persepsi individual terkait variabel kebahagiaan, pelaksanaan survei yg bersifat kualitatif-persepsional itu, secara teknis, memang tidak mudah. Sangat berbeda dengan survei yg bersifat objektif, yang lurus/linier dan dengan jawaban terukur. Pada survei persepsional, petugas dan pewawancara harus saling bercerita dan dari cerita itulah insight diperoleh sebelum responden memberi jawaban pada jawaban berskala tangga ( ladder of scale) yang telah disiapkan. Pada titik ini, dari sejak saya masih jadi pengawalnya, para pengelola survei itu sendiri, kesan saya, sepertinya masih tertatih-tatih memahami bagaimana spektrum ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari apa itu "kebahagiaan". Kita masih perlu terus belajar tanpa halte, tanpa titik. Terus Belajar.
Salam hangat.
Bandung 12 Januari 2022
JSH.
*Pakar statistik dan pemerhati sosial